Oleh Egy Massadiah
Suaratimurnews.com Tanggal 26 April kita peringati sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB). HKB tahun ini dipusatkan di Klaten, utamanya di wilayah lingkar gunung Merapi, meliputi empat kabupaten, yaitu Klaten, Magelang, Boyolali, dan Sleman. Secara teritori, tiga kabupaten masuk Provinsi Jawa Tengah, satu kabupaten masuk Yogyakarta (DIY).
Makna tersurat Hari Kesiapsiagaan Bencana barangkali sangat mudah dipahami. Anda boleh mengartikan sebagai hari di mana kita harus siap-siaga menghadapi bencana. Bagi masyarakat yang pernah mengalami atau pernah tertimpa bencana dahsyat, kata-kata ‘kesiapsiagaan bencana’ tentu sangat menyentuh.
Ketahuilah, kegiatan HKB setiap tahun diperingati tanggal 26 April, adalah tanggal-dan-bulan ditetapkannya Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kemudian, lahirlah peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana.
Tujuan utama HKB adalah meningkatkan kesiapsiagaan seluruh elemen masyarakat dalam menghadapi bencana. Indonesia berada di wilayah rawan bencana.
Sekali lagi, narasi ini sangat mengena terhadap masyarakat yang pernah tertimpa musibah bencana, utamanya bencana alam. Sebaliknya, narasi itu, boleh jadi, hanya terdengar lamat-lamat bagi orang-per-orang yang seumur hidupnya tidak pernah/belum pernah tertimpa bencana.
Setiap tahun, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai si-empunya HKB melahirkan tema-tema yang relevan.
– Tahun 2017: Membangun Kesadaran Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana.
– Tahun 2018: Siaga Bencana Dimulai dari Diri Kita, Keluarga dan Komunitas.
– Tahun 2019: Perempuan Sebagai Guru Siaga Bencana, Rumah Menjadi Sekolahnya.
– Tahun 2020: Penanggulangan Bencana Urusan Bersama.
– Tahun 2021: Latihan Membuat Kita Selamat Dari Bencana.
Khusus 26 April 2022, dibawah nakhoda Kepala BNPB Letnan Jenderal TNI Suharyanto, BNPB mengusung tema: _Keluarga Tangguh Bencana, Pilar Bangsa Menghadapi Bencana_.
Suharyanto menegaskan, hendaknya tema itu tidak berhenti pada tataran wacana, melainkan harus implementatif. Karenanya, Hari Kesiapsiagaan Bencana juga harus diikuti langkah kongkrit pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan peringatan dini. Tentunya, dibarengi peningkatan kapasitas lembaga dan SDM-nya
*Akar Bencana*
Guna mengenali akar bencana, masyarakat harus disosialisasikan mengenai jenis-jenis bencana. Bencana alam yang terjadi di permukaan bumi seperti tsunami, gempa bumi, gunung meletus.
Sedangkan, menurut leaflet Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), bencana Hidrometeorologi adalah fenomena bencana alam atau proses kerusakan yang terjadi di atmosfer (meterologi), air (hidrologi), atau lautan (oseanografi). Contoh bencana hidrometeorologi adalah badai siklon tropis, badai petir, badai es, curah hujan ekstrem, banjir, embun dan suhu dingin.
Secara spesifik, bahkan bisa diklasifikasikan lagi menjadi hidrometeorologi basah dan hidrometeorologi kering.
Beberapa contoh di atas adalah dampak bencana hidrometeorologi basah. Sementara, hidrometeorologi kering, acap terjadi di musim kemarau, yakni kebakaran hutan, kekeringan (krisis air bersih), dan sejenisnya.
Pada Rakornas Penanggulangan Bencana Tahun 2021, Jumat (5/3/2021) disebutkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan bencana paling merugikan bagi Indonesia. Kerugian ekonomi akibat karhutla mencapai USD 16,1 miliar, atau sekitar Rp 229,6 triliun (kurs Rp 14.266 per dolar AS). Belum lagi kerugian korban jiwa yang tak kalah banyaknya.
Angka tersebut bahkan jauh lebih besar dibandingkan kerugian ekonomi akibat bencana tsunami Aceh pada 2004 silam. Tsunami Aceh kerugian ekonominya sekitar USD 7 miliar.
Kita sepakat, bahwa kebakaran hutan, selalu menghabiskan ongkos raksasa untuk helikopter water bombing. Itupun belum menyelesaikan semua masalah. Solusinya adalah tidak menebang pohon, penanaman lahan yang gersang, dan sejahterakan masyarakat di sekitar agar ikut menjaga hutan.
Ancaman lain adalah Bencana non alam. Bencana ini adalah serangkaian peristiwa yang bukan berasal dari alam. Bencana non alam ini bisa disebabkan konflik sosial antarkelompok, masyarakat, ataupun aksi teror.
Jenis bencana non alam lain berupa gagal teknologi, ataupun wabah penyakit yang bisa menjadi pandemi dan endemi, seperti pandemi Covid-19 yang masih kita rasakan hingga hari ini.
Gerakan penangkal tak kurang-kurang diluncurkan. Berbagai program telah disusun dan melahirkan banyak keputusan yang berdampak langsung pada kehidupan sosial masyarakat.
Semua peraturan semacam PSBB (dan berbagai pembatasan lain), kewajiban bermasker, mencuci tangan pakai sabun, dan larangan berkerumun, serta masih banyak tools dan instrument “perang” melawan corona, sejatinya untuk penyelamatan rakyat.
Bahwa dengan mengenali jenis-jenis bencana, sekaligus kita mengetahui tentang hal-hal apa yang perlu dipersiapkan, serta hal-hal apa saja yang perlu diwaspadai. Kenali ancamannya siapkan strateginya. Ketahui masalahnya, carikan solusinya. Nah, kunci solusi dasar yaitu: perubahan/mengubah perilaku masyarakat.
Perilaku tidak menebang pohon sembarangan. Perilaku tidak membuang sampah sembarangan. Perilaku mengurangi dan lambat-laun menghilangkan ketergantungan kepada plastik. Perilaku gemar menanam dan merawat pohon.
Perilaku hemat penggunaan air bersih, tidak membuang limbah sembarangan, menjaga kualitas air. Perilaku hidup sehat, makan sehat, olah raga teratur, istirahat yang cukup adalah bagian yang tidak terpisahkan, dari perilaku-perilaku lain yang sadar-tak-sadar sangat dibutuhkan bagi upaya pengurangan risiko bencana.
Habbit menjaga alam, sejatinya merupakan upaya preventif yang sangat penting. Itu baru bisa kita sadari setelah memahami, betapa bencana (banjir bandang dan longsor, misalnya) yang acap merenggut banyak nyawa dan harta, terjadi justru karena kita abai terhadap alam.
Gunung gundul, adalah ancaman longsor. Kita kerap tidak peka akan bahaya yang mengintai. Masyarakat tidak tahu, perangkat desa kurang sensitif, dan sedikit orang yang sudah tahu, yang semestinya mau memberitahu.
*Mitigasi Vegetasi*
Tanggul beton, atau apa pun teknologi buatan manusia tak akan mampu melawan alam. Karenanya, dalam menghadapi bencana, kita harus bersahabat dengan pembela dan penjaga alam. Tanam pohon yang bernilai ekonomis (pohon buah – kopi, sukun, alpukat dll) serta bermanfaat secara ekologis (pohon keras – pohon pule, trembesi – ebony dll). Di kawasan rawan longsor, tanaman “vetiver system” adalah solusi. Begitulah, mitigasi melalui vegetasi adalah sebuah jawaban.
Sama halnya dengan upaya mereduksi tsunami dengan menanam pohon di tepi pantai. Sebab, tsunami adalah mesin pembunuh nomor satu di dunia. Ada banyak kisah, mereka yang selamat dari tsunami di Aceh, Pandeglang dan juga likuifaksi di Palu karena berlindung di pohon, atau memanjat pohon.
Satu hal yang pasti, pepohonan dan hutan pantai ternyata mampu meredam ganasnya gelombang tsunami hingga 80 persen. Pohon sebagai infrastruktur alam adalah jawaban konkret untuk mencegah jatuhnya korban yang lebih besar.
Menanam pohon di kawasan rawan banjir dan longsor menjadi kewajiban mutlak. Motornya para pemimpin dari tingkat pusat sampai ketua RT. Dari ulama hingga santri. Dari tokoh masyarakat sampai ke para pemuda. Dari kepala sekolah sampai murid-murid. Pendek kata, semua elemen masyarakat harus dilibatkan dalam gerakan menanam pohon.
Ukurannya bukanlah berapa jumlah pohon yang kita tanam, tapi berapa banyak pohon yang bisa kita tanam, kita rawat dengan baik, dan akhirnya tumbuh sempurna. Stop seremoni tanam pohon, tanpa dibarengi kegiatan merawat hingga benar-benar tumbuh.
*Menjadi Gerakan*
Sebagai bangsa yang ditakdirkan tinggal di daerah _ring of fire_, kita tidak bisa menolak bencana. Yang bisa kita lakukan adalah mengantisipasi. Anda tahu anak-anak balita di Jepang? Mereka bahkan sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika gempa terjadi. Itu karena sosialisasi turun-temurun. Itu karena simulasi yang rutin. Itu karena latihan yang terus-menerus.
Paralel dengan amanat Presiden RI Joko Widodo dalam arahannya pada Rakornas
Penanggulangan Bencana 2022, menekankan pada
pembangunan sistem edukasi kebencanaan berkelanjutan di
daerah rawan bencana. Budaya sadar bencana harus dimulai
sejak dini mulai dari individu, keluarga, komunitas, sekolah
sampai lingkungan masyarakat.
Bencana merupakan fenomena kehidupan manusia yang tidak dapat diketahui secara pasti kapan terjadi. Kita sebagai manusia hanya mampu memprediksi bencana dengan mengenali gejala-gejala awal. Dengan demikian kesiapan manusia dapat dilakukan ketika dapat mengenali gejala awal dan tingkat risikonya.
BNBP memiliki tugas memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan keadaan darurat bencana, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara.
Karenanya, BNPB tidak hanya memberikan pedoman kepada masyarakat agar tanggap dan mengenali gejala-gejala awal bencana. Tetapi harus diperkuat dengan keterlibatan para peneliti dan pakar yang berperan penting untuk mengkaji tingkat risiko dari bencana, serta perencanaan penanggulangan bencana.
_Last but not least_, BNPB harus terus menerus melakukan pemantauan dan evaluasi risiko bencana.
Momentum Hari Kesiapsiagaan Bencana 2022 ini harus dimaknai dengan GERAKAN SIAGA BENCANA. Harus menjadi sebuah “gerakan massif” berupa penanaman kesadaran mengenai ancaman, serta memberi bekal kemampuan mengatasi bencana, setidaknya menghindari bencana. Ujung semua itu, tentunya: perubahan perilaku. (*)
*) *Egy Massadiah*, _wartawan senior, konsultan media, menulis sejumlah buku serta pembina Majalah “Jaga Alam”_