Suaratimurnews.com Pada tanggal 16 Agustus 2021 yang lalu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengumumkan hasil investigasinya dalam menindaklanjuti aduan wadah pegawai KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Komnas HAM menemukan 11 dugaan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) . Berdasarkan temuan tersebut Komnas HAM memberi lima rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo terkait dengan proses alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Mencermati langkah Komnas HAM dalam memberikan rekomendasi kepada presiden tersebut dan mengungkapkan kepada publik mengenai hasil temuan Komnas HAM adanya pelanggaran HAM pada proses TWK dalam alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara, maka tulisan ini akan membahasnya melalui perspektif yuridis.
Dari sudut pandang hukum sejauh berkaitan dengan HAM, langkah yang diambil oleh Komnas HAM tersebut adalah keliru, dan sudah melampaui dari batas wewenang Komnas HAM yang dimandatkan oleh undang-undang. Langkah yang dilakukan Komnas HAM yang berkaitan dengan aduan 51 Pegawai KPK tersebut telah terjadi salah penerapan hukum baik dari aspek substansi maupun dari sisi formilnya.
Kesalahan dari Sisi Substansi.
Sebelum ditetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.19 tahun 2019), status pegawai KPK ada yang non-Aparatur Sipil Negara (ASN) dan ada yang sudah ASN.
Dengan diberlakukannya UU No.19 Tahun 2019, maka seluruh pegawai KPK harus menjadi ASN. Karena Pasal 1 Angka 6 UU No.19 Tahun 2019 menyatakan bahwa Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara. Untuk melaksanakan isi ketentuan Pasal 1 Angka 6 UU No.19 Tahun 2019 tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (PP No.41 Tahun 2020). Salah satu syarat untuk menjadi ASN dalam pengalihan status tersebut menurut Pasal 3 Huruf b PP NO.41 Tahun 2020 adalah setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah.
Selanjutnya Pasal 3 Huruf f PP No.41 Tahun 2020 menentukan bahwa syarat lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ASN yang ditetapkan dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk melaksanakan PP No.41 Tahun 2020, KPK menerbitkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (Perkom KPK No.1 Tahun 2021). Untuk memenuhi syarat setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah, menurut Pasal 5 Ayat 5 Perkom KPK No.1 Tahun 2021 akan dilaksanakan asesmen tes wawasan kebangsaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara. Tujuan diadakan TWK adalah untuk mengukur atau mengetahui apakah pegawai KPK yang akan menjadi ASN setia pada Pancasila, Undang-Undang Dasar RI 1945, dan pemerintah yang sah atau tidak. Kalau hasil asesmen TWK menyatakan pegawai KPK tidak setia pada Pancasila, Undang-Undang Dasar RI 1945, dan pemerintah yang sah, maka pegawai KPK itu dinyatakan tidak memenuhi salah satu syarat untuk menjadi ASN.
Atas uraian yuridis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa TWK yang diadakan KPK adalah sesuai dengan ketentuan hukum. Permasalahan yang timbul adalah setelah TWK dilaksanakan dan hasilnya sudah diumumkan, timbul protes dari 51 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK. Alasan yang dikemukakan oleh 51 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK tersebut bahwa proses TWK bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) Adapun alasan-alasan yang proses TWK telah melanggar HAM karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh asesor TWK antara lain : bersedia atau tidak menjadi isteri kedua ? Pada saat pacaran pernah melakukan apa saja ? Mau tidak untuk lepas kerudung Kenapa umur di atas 30 belum menikah ? Pilih Pancasila atau Al Qur’an ? Mau terima donor darah dari agama lain? Mengucapkan hari raya ke umat agama lain atau tidak ? Kalau agama alirannya apa ? dan lain-lain.
Atas aduan dari 51 pegawai KPK yang tidak lolos TWK tersebut, Komnas HAM menindak lanjutinya sampai dengan berkesimpulan bahwa ada 11 pelanggaran HAM dalam TWK, yaitu : hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dan diskriminasi (ras dan etnis), hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi publik, hak atas privasi, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan hak atas kebebasan berpendapat.
Apakah pendapat Komnas HAM yang menyatakan telah terjadi sebelas pelanggaran HAM dalam TWK tersebut sudah tepat menurut hukum yang berlaku ?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pengertian pelanggaran HAM menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Pengertian pelanggaran HAM menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No.39 tahun 1999) adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dalam pengertian pelanggaran HAM perlu diperhatikan bahwa di dalam setiap pelanggaran HAM harus ada unsur melawan hukum. Menurut hukum (baik hukum pidana, perdata, dan administrasi negara), pengertian melawan hukum adalah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jika ada suatu perbuatan yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, atau aparat negara yang sesuai menurut isi ketentuan perundang-undangan, atau melaksanakan perintah undang-undang, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran HAM.
Menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. ada dua macam pelanggaran HAM, yaitu pelanggaran HAM yang diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No.39 tahun 1999), dan pelanggaran HAM yang diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU No.26 tahun 2000).
Pelanggaran HAM yang diatur oleh UU No.39 tahun 1999 yakni pelanggaran terhadap hak untuk hidup dan hak untuk tidak kehilangan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama.
Sedang pelanggaran HAM yang diatur oleh UU No.26 tahun 2000 adalah mengenai pelanggaran HAM berat berupa kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a). membunuh anggota kelompok; b). mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c). menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d). memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e). memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Di dalam peristiwa yang diadukan oleh 51 pegawai KPK ke Komnas HAM tentunya yang dituju adalah pelanggaran HAM sebagaimana dimaksud oleh UU No.39 Tahun 1999. Bukan pelanggaran HAM berat sebagaimana dimaksud UU No. 26 Tahun 2000.
Bila norma hukum HAM yang telah diuraikan di atas dihubungkan dengan dengan kesimpulan Komnas HAM yang menyatakan ada sebelas pelanggaran HAM dalam TWK pada proses alih status pegawai KPK menjadi ASN, maka kesimpulan Komnas HAM itu adalah tidak tepat. Karena TWK yang diadakan oleh KPK merupakan perintah undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas. Dengan demikian pelaksanaan TWK tersebut mempunyai dasar hukum yang kuat. Seperti telah diuraikan di atas bahwa TWK dilakukan adalah bertujuan untuk mengukur atau mengetahui kesetiaan calon ASN pada Pancasila, Undang-Undang Dasar RI 1945, dan pemerintah yang sah. Karena tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pimpinan KPK, maka kebijakan pimpinan KPK tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM sebagaiman dimaksud Pasal 1 Angkaw 6 UU No.39 Tahun 1999.
Jika yang menjadi obyek dugaan pelanggaran HAM pada proses TWK dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi ASN itu adalah mengenai serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh asesor di dalam wawancara TWK, maka pertanyaan-pertanyaan asesor itu juga bukan perbuatan melawan hukum. Karena bentuk pertanyaan seperti itu biasa diajukan di dalam suatu asesmen tes wawasan kebangasaan. Untuk mendukung argumentasi itu, patut merujuk pada pendapat Prof. Hamdi Muluk (gurubesar psikologi sosial pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia).
Di dalam suatu kesempatan Prof. Hamdi Muluk menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan asesor seperti itu biasa dilakukan. Prof. Hamdi Muluk (merupakan salah satu konseptor tes wawasan kebangsaan di Indonesia) menyatakan bahwa bentuk pertanyaan merupakan bentuk pertanyaan pancingan untuk mengetahui (membongkar) alam pikiran orang sedang diwawancarai mengenai pandangan ideologinya, termasuk ingin mengetahui tingkat toleransi terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda suku, etnis dan agama. Termasuk ingin melihat apakah ada potensi mempunyai agenda tersembunyi terhadap pemerintah yang sah. Hal ini penting bagi bangsa Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk. Biasanya orang yang mempunyai pandangan yang berbeda dengan pandangan arus utama (main stream) terhadap ideologi negara, akan menutup rapat atau merahasiakan pandangan ideologinya terhadap pihak atau kelompok yang berbeda pandangan. Apalagi terhadap asesor TWK. Dengan demikian asesor akan berupaya semaksimal mungkin dengan mengajukan pertanyaan yang ”aneh-aneh” untuk mengetahui alam pikiran orang yang sedang diwawancarai (termasuk dengan teknik memancing emosi).
Menurut Prof. Hamdi Muluk pertanyaan-pertanyaan seperti yang digunakan oleh asesor TWK tersebut biasa diajukan pada asesmen tes wawasan kebangsaan dikalangan ASN yang akan naik golongan IV atau yang akan dipromosikan menduduki eselon dua atau eselon satu acap kali menjadi narasumber pada tes wawasan kebangsaan ASN mengungkapkan pengalamannya di Lembaga Administrasi Negara, atau untuk yang dilakukan di lingkungan Tentara Nasional yang akan naik pangkat menjadi perwira tinggi atau akan menduduki jabatan strategis
Dengan merujuk pendapat Prof. Hamdi Muluk tersebut, maka tidak ada unsur melawan hukum yang dilakukan oleh asesor dalam tanya jawab TWK. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh asesor adalah dalam rangka melaksanakan perintah undang-undang. Karena tidak ada unsur melawan hukum, maka perbuatan para asesor pada proses TWK tersebut tidak memenuhi pengertian pelanggaran HAM menurut UU No.39 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM dalam proses TWK di KPK dalam rangka Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara.
Jika ada pendapat yang menyatakan pimpinan KPK telah melakukan perbuatan melawan hukum karena pimpinan KPK telah menyatakan pegawai KPK yang tidak lolos TWK akan dipecat, sementara di dalam Perkom KPK No. 1 Tahun 202 tidak ada pasal (ketentuan) mengenai pemecatan. Pendapat ini tidak tepat. Betul secara eksplisit Perkom KPK No. 1 Tahun 2021 tidak mengatur mengenai pemecatan pegawai KPK dalam pengalihan status menjadi ASN. Tetapi secara implisit Perkom KPK No. 1 Tahun 2021 telah mengatur bahwa pegawai KPK yang tidak lolos asesmen TWK maka dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk dialihkan statusnya menjadi ASN. Karena menurut Pasal 3 PP No. 41 Tahun 2020 salah satu syarat yang harus dipenuhi pegawai KPK untuk dapat dialihkan menjadi ASN adalah setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar RI 1945, dan pemerintah yang sah. Penilaian apakah pegawai KPK setia dan taat Pancasila, Undang-Undang Dasar RI 1945, dan pemerintah yang sah itu diketahui melalui TWK. Maka secara substansi Perkom KPK No.1 Tahun 2021 mengatur mengenai pemecatan pegawai KPK yang tidak lolos TWK. Dengan demikian Pimpinan KPK tidak melakukan perbuatan melawan hukum bila tidak mengangkat pegawai KPK yang tidak lolos TWK menjadi pegawai ASN di KPK di masa datang.
Di dalam rekomendasi kepada presiden, Komnas HAM menyinggung mengenai pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) di dalam Putusan Nomor : 70/PUU-XVII/2019. Selanjutnya Komnas HAM menyatakan bahwa mengingat MK berperan sebagai pengawal konstitusi, maka pengabaian atas pertimbangan hukum dalam putusan MK tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk pengabaian konstitusi. yang menyatakan bahwa dalam pengalihan pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK yang ada.
Sekedar untuk diketahui bahwa di dalam pertimbangan hukum MK pada Putusan Nomor : 70/PUU-XVII/2019 ada kalimat yang menyatakan bahwa tidak boleh merugikan pegawai KPK dalam pengalihan status menjadi ASN. Dan untuk diketahui juga bahwa Pemohon dalam Nomor : 70/PUU-XVII/2019 itu mendalilkan salah satu alasan untuk memohon agar UU No.19 Tahun 2019 dibatalkan karena norma Pasal 24 dan Pasal 45A ayat (3) huruf a UU 19/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena sebagian pegawai KPK yang ada saat ini tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pegawai ASN, terutama bagi mereka yang telah berusia 35 tahun sehingga akan kehilangan pekerjaannya atau setidak-tidaknya tidak dapat lagi mengembangkan kariernya di KPK serta berpotensi terjadinya kekosongan jabatan dalam KPK sehingga menghambat kinerja KPK. Di dalam hubungan ini Pemohon mendalilkan bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil menentukan “Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. usia paling rendah 18 (delapan belas) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun pada saat melamar”;
Sesungguhnya rekomendasi Komnas HAM tersebut telah keliru dalam memaknai pertimbangan hukum putusan MK tersebut sejauh kalimat yang menyatakan bahwa tidak boleh merugikan pegawai KPK dalam pengalihan status menjadi ASN. Memang betul di dalam pertimbangan hukum perkara Nomor : 70/PUU-XVII/2019 ada kalimat yang menyatakan bahwa dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Tetapi Komnas HAM jangan menonjolkan penggalan kalimat yang menyatakan bahwa pengalihan tersebut tidak boleh merugikan pegawai KPK saja. Seyogyanya kalimat itu harus dihubungkan dengan paragraf dan kalimat-kalimat sebelum dan sesudahnya. Karena di dalam kalimat itu sendiri terdapat anak kalimat yang menyatakan bahwa di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Apa yang dimaksud dengan frasa di luar desain yang telah ditentukan tersebut ? Kata penghubung tersebut artinya agar mengacu pada paragraf dan kalimat-kalimat sebelumnya. Di dalam paragraf sebelumnya Majelis Hakim MK menyatakan bahwa kekhawatiran Pemohon sebagaimana didalilkan nya pada alasan permohonan pengujian UU No.19 Tahun 20199 tersebut adalah berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang akan melamar sebagai PNS atau pegawai ASN. Sementara, bagi pegawai KPK secara hukum menjadi pegawai ASN karena berlakunya UU 19 Tahun 2019.
Selanjutnya Majelis Hakim MK menyatakan bahwa Jika dipelajari secara saksama substansi Pasal 24 UU 19/2019 sama sekali tidak mengandung aspek pembatasan kesempatan yang sama untuk menjadi ASN bagi 338 pegawai KPK, terlebih lagi dalam pelaksanaan proses peralihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN masih harus didasarkan pada Ketentuan Peralihan UU No. 19 Tahun 2019 yang muatannya berkenaan dengan penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan undang-undang yang lama terhadap undang-undang yang baru, di mana tujuan adanya Ketentuan Peralihan tersebut adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan undang-undang, mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara (vide angka 127 Lampiran II UU 12 Tahun 2011). Oleh karena itu, Ketentuan Peralihan dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 telah menentukan bagaimana desain peralihan dimaksud supaya tidak terjadi persoalan bagi mereka yang terkena dampak apalagi sampai menimbulkan kekosongan jabatan dalam KPK sebagaimana didalilkan para Pemohon. Karena, bagi penyelidik atau penyidik KPK dan bagi pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai ASN maka dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU 19/2019 mulai berlaku dapat diangkat sebagai ASN, dengan ketentuan untuk penyelidik atau penyidik KPK telah mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan dan bagi pegawai KPK pengangkatan dimaksud dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5 Tahun 2014) berikut peraturan pelaksananya.
Kemudian putusan MK tersebut mempertimbangkan bahwa berkaitan dengan mekanisme penyesuaian tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (PP 41/2020), yang secara substansial desain pengalihannya telah ditentukan mulai dari: pemetaan ruang lingkup pegawai KPK (apakah berstatus pegawai tetap atau pegawai tidak tetap); tahapan pengalihannya dengan melakukan penyesuaian jabatan pada KPK saat ini; identifikasi jenis dan jumlah pegawai KPK; pemetaan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman pegawai dengan jabatan ASN yang akan diduduki; pelaksanaan pengalihan pegawai apakah akan menjadi PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK); serta menetapkan kelas jabatannya (vide Pasal 4 PP 41/2020). Dengan demikian, sekalipun pegawai KPK tersebut telah berusia 35 tahun atau lebih tidak berarti mereka akan kehilangan kesempatan untuk dilakukan penyesuaian apakah menjadi PNS atau PPPK. Untuk mengatur lebih lanjut mekanisme kerja pengalihan tersebut agar lebih cepat diwujudkan sesuai dengan kondisi faktual, PP 41/2020 menyerahkan pengaturannya dalam Peraturan KPK. Dalam Peraturan KPK inilah telah ditentukan 340 penghitungan terhadap masa kerja dalam jenjang pangkat sebelum pegawai KPK menjadi ASN (vide Pasal 7 Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara). Adanya ketentuan mekanisme pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK.
Dengan mengutip secara lengkap paragraf dan kalimat-kalimat pertimbangan hukum Majelis Hakim MK akan menjadi jelas dan proporsional bahwa jiwa (substansi) dari frasa dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut adalah dalam konteks jika UU No.19 Tahun 2019 tidak membuat ketentuan transisional dalam pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN. Frasa pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Nomor : 70/PUU-XVII/2019 bukan berarti seluruh pegawai KPK yang ada sekarang belum berstatus ASN serta merta diangkat menjadi pegawai ASN. Inti atau semangat dari frasa tidak boleh merugikan pegawai KPK tersebut adalah mekanisme pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN harus mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu membuat desain pengalihannya yang telah ditentukan mulai dari: pemetaan ruang lingkup pegawai KPK sampai dengan pembuatan tahapan pengalihannya dengan melakukan penyesuaian jabatan pada KPK saat ini.
Kesalahan dari Sisi Formal.
Di awal tulisan ini telah diutarakan bahwa langkah yang diambil Komnas HAM tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam menangani aduan dari pegawai KPK yang menyatakan ada pelanggaran HAM dalam TWK pada proses pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN. Selain itu penulis juga melihat pengiriman rekomendasi dari Komnas HAM kepada Presiden Republik Indonesia melebihi kewenangan Komnas HAM yang diberikan oleh undang-undang. Di bawah ini akan diuraikan alasan yuridis kenapa rekomendasi Komnas HAM tersebut dikatakan sudah melampaui kompetensi yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Fungsi Komnas HAM menurut UU No.39 Tahun 1999 adalah melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia. Untuk melaksanakan fungsi tersebut Komnas HAM memiliki seperangkat tugas dan wewenang sebagaimana diatur di dalam Pasal 89 UU No.39 Tahun 1999. Dalam hal pelanggaran HAM Berat, Komnas HAM menurut UU No.26 Tahun 2000 bertugas sebagai penyidik, dan mempunyai seperangkat wewenang penyidikan. Dalam tulisan ini tidak akan menguraikan tugas dan wewenang Komnas HAM secara terperinci, melainkan hanya akan memfokuskannya pada penanganan dan rekomendasi yang dibuat Komnas HAM sehubungan dengan adanya aduan dari pegawai KPK tersebut.
Aduan yang dibuat oleh pegawai KPK ke Komnas HAM jelas mengenai pelanggaran HAM yang diatur dalam UU No.39 Tahun 1999, dan bukan pelanggaran HAM Berat sebagaimana di atur UU N.26 Tahun 2000. Karena itu kemungkinan fungsi yang akan dapat digunakan pemantauan atau mediasi. Dari informasi yang diperoleh di media massa, tidak jelas Komnas HAM melaksanakan fungsi pemantauan atau melakukan fungsi mediasi. Perlunya diketahui kejelasan pelaksanaan fungsi apa yang dijalankan itu karena menurut ketentuan perundang-undangan ada perbedaan dalam ruang lingkup, kompetensi, wewenang dan kesimpulan akhir yang akan diambil Komnas HAM.
Dalam hal Komnas HAM melakukan fungsi pemantauan, menurut Pasal 89 Ayat (3) UU No.39 Tahun 1999, pada pokoknya Komnas HAM mempunyai wewenang untuk memanggil (pengadu, teradu, dan orang yang terkait), penyelidikan, peninjauan suatu tempat, pemeriksaan setempat, dan membuat laporan hasil pengamatan. Kewenangan itu merupakan serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan fakta, data, dan informasi tentang adanya pelanggaran HAM.
Dalam hal Komnas HAM melakukan fungsi mediasi, menurut Pasal 89 Ayat (4) UU No.39 Tahun 1999, pada pokoknya Komnas HAM mempunyai wewenang untuk : a). perdamaian kedua belah pihak; b). penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli; c). pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan; d). penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; e). penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Jika fungsi yang dipilih Komnas HAM dalam menangani aduan pegawai KPK tersebut adalah pemantauan, maka di akhir proses penanganan aduan Komnas HAM tidak berwenang membuat rekomendasi kepada pihak teradu atau kepada pemerintah atau kepada presiden. Karena di dalam UU No.39 Tahun 1999 menentukan Komnas HAM mempunyai wewenang membuat laporan, bukan rekomendasi. Karena sebuah laporan jelas berbeda dengan suatu rekomendasi. Kalau laporan hanya memuat fakta-fakta saja tanpa adanya opini dan saran atau anjuran. Sedang sebuah rekomendasi selain berisi fakta-fakta, tapi juga terdapat opini, dan saran atau anjuran.
Faktanya langkah akhir yang diambil Komnas HAM dalam menangani aduan pegawai KPK ini, Komnas HAM membuat rekomendasi kepada pihak teradu (KPK) dan kepada Presiden RI. Bahkan di dalam rekomendasi kepada Presiden RI, Komnas HAM menganjurkan agar presiden mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK untuk menjadi pegawai ASN, serta agar presiden memulihkan status 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk diangkat sebagai ASN. Jika mengacu pada ketentuan uu No.39 Tahun 1999, maka pembuatan rekomendasi oleh Komnas HAM itu tidak dasar hukumnya (UU No.19 Tahun 2019). Dan isi anjuran Komnas HAM itu tidak ada dasar hukum yang melandasinya. Bahkan pemberian anjuran tersebut sudah melampaui kewenangan Komnas HAM yang sudah ditentukan UU No.39 Tahun 1999. Karena menurut ketentuan perundang-undangan, presiden tidak mempunyai kewenangan untuk membatalkan sebuah putusan administrasi negara. Menurut ketentuan perundang-undangan pihak yang dapat membatalkan suatu putusan administrasi negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dan menurut UU No.19 Tahun 2019 (peraturan turunannya, yaitu PP No.41 Tahun 2020, dan Perkom KPK No.1 Tahun 2021) presiden tidak punya wewenang menyeleggarakan poses asesmen TWK untuk keperluan pengalihan status pegawai KPK untuk menjadi pegawai ASN. Jika presiden mengikuti anjuran Komnas HAM itu, maka akan mencelakakan presiden. Karena presiden dinilai telah melanggar undang-undang.
Jika pembuatan rekomendasi tersebut Komnas HAM melaksanakan fungsi mediasi, itupun tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Karena KPK tidak pernah diundang untuk melakukan proses mediasi. Menurut keterangan Komisoner KPK bahwa Komnas HAM mengundang KPK dalam rangka meminta keterangan sehubungan dengan Komnas HAM melakukan penyelidikan (suatu poses dalam pemantauan. Jika memang Komnas HAM melaksanakan fungsi mediasi, maka rekomendasi yang dibuat Komnas HAM tidak tepat ditujukan kepada Presiden RI. Walaupun KPK merupakan suatu lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif, tapi KPK adalah lembaga yang independen dalam pemberantas tindak pidan korupsi. Dan presiden bukan atasasn KPK.
Selain Komnas HAM melakukan kesalahan seperti yang telah diuraikan di atas, Komnas HAM tidak menjalankan isi ketentuan UU No.39 Tahun 1999 dalam menangani suatu aduan adanya pelanggaran HAM. Sepatutnya Komnas HAM menghentikan pemeriksaan atas pengaduan yang diajukan oleh pegawai KPK. Karena latar belakang aduan dari pegawai KPK tersebut menolak keputusan Komisioner KPK yang menetapkan 52 Pegawai KPK tidak memenuhi syarat untuk dialihkan menjadi pegawai ASN di KPK. Atau dengan pengertian lain 51 Pegawai KPK itu menuntut agar keputusan Komisioner KPK itu dibatalkan. Seperti telah disinggung di atas bahwa lembaga yang dapat (berwenang) membatalkjan suatu putusan administrasi negara adalah PTUN. Komnas HAM tidak berwenang untuk membatalkan suatu putusan admnistrasi negara. Dalam situasi seperti ini, Pasal 91 UU No.39 Tahun 1999 menyatakan bahwa pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan atau dihentikanapabila terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan.
Kesimpulan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
- Tidak ada pelanggaran HAM di dalam proses TWK terkait dengan pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN.
- Rekomendasi yang dibuat Komnas HAM dalam menangani aduan dari 51 Pegawai KPK tidak mempunyai landasan hukum (UU No.39 Tahun 1999).
- Anjuran Komnas HAM kepada Presiden RI adalah melampaui kewengan yang dimiliki Komnas HAM.
- Komnas HAM tidak melaksanakan formalitas yang telah ditentukan UU No.39 Tahun 1999.
Dengan memperhatikan kesimpulan di atas, maka disarankan agar Presiden RI tidak mengikuti anjuran yang diberikan Komnas HAM dalam menyelesaikan aduan adanya pelanggaran HAM di dalam proses pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN. Jika Presiden RI mengikuti anjuran Komnas HAM tersebut, maka Presiden RI akan dinilai melanggar undang undang.(*)