Ambon,Suaratimurnews.com Pada pembahasan koordinasi pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai penggantian kerugian Rp 3,9 triliun bagi pengungsi kerusuhan Maluku tahun 1999, Wakil Gubernur Maluku Barnabas Nathaniel Orno menegaskan, sebaiknya ada keterangan valid dari pemda hingga di tingkat RT/RW, perihal penerima ganti rugi konflik kerusuhan 1999 di Maluku adalah benar-benar korban kerusuhan.
“Paling tidak ada keterangan dari pemda maupun RT/RW, bahwa benar-benar yang bersangkutan (Penerima ganti rugi) adalah korban kerusuhan,” kata Wagub saat mengikuti Rakorsus tingkat menteri secara virtual di ruang rapat lantai II Kantor Gubernur, Kamis (05/08/2021), didampingi pimpinan dinas terkait.
Rakorsus tersebut dipimpin langsung Menko Polhukam Mahfud MD dan diikuti beberapa kementerian lainnya, antara lain Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dan Mendagri Tito Karnavian.
Menurut Wagub, Pemprov Maluku pada prinsipnya tetap patuh terhadap keputusan Mahkamah Agung (Inkrah). Namun saat akan dilakukan pembayaran, pemerintah sebaiknya memiliki data valid tentang penerima ganti rugi. Hal itu untuk mengantisipasi adanya aduan dari sejumlah oknum tertentu atau para korban konflik menyangkut sudah atau belum terteranya nama mereka sebagi penerima ganti rugi.
“Di khawatirkan justru pada saat pembayaran, ada yang belum terdata padahal pengungsi beneran tapi ada yang sudah terdata tapi belum tentu pengungsi beneran,” ujarnya.
Atas dasar itu, bagi mantan Bupati MBD tersebut, perlu ada pertimbangkan secara teknis sebelum dilakukan pembayaran. Wagub pun setuju, bila uang ganti rugi diberi langsung kepada pengungsi atau titip sementara di pengadilan.
Sementara itu, Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar mengungkapkan, pihaknya sedang menyiapkan dokumen prihal proses bayar ganti rugi kepada korban tragedi kerusuhan Maluku.
Hal itu menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan peninjauan kembali (PK) pemerintah terkait gugatan class action atau gugatan perwakilan kelompok yang diajukan para korban kerusuhan Maluku pada 1999.
“Kami siap untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan untuk ikut mendukung percepatan dan keberhasilan pelaksanaan tindak lanjut pengadilan ini,” katanya melalui rilis Kemendes PDTT hari ini.
Seperti diketahui, jumlah uang tersebut terdiri dari bahan bangunan rumah (BBR) sejumlah Rp 15 juta dan uang tunai Rp 3,5 juta untuk masing-masing pengungsi sebanyak 213.217 kepala keluarga.
Adapaun Kerusuhan Maluku yang dimaksud adalah konflik etnis-politik yang melibatkan agama di kepulauan Maluku, khususnya pulau Ambon dan Halmahera, konflik ini bermula pada era Reformasi awal 1999 hingga penandatanganan Piagam Malino II tanggal 13 Februari 2002.
Penyebab utama konflik ini adalah ketidakstabilan politik dan ekonomi secara umum di Indonesia setelah Soeharto tumbang dan rupiah mengalami devaluasi selama dan seusai krisis ekonomi di Asia Tenggara.
Rencana pemekaran provinsi Maluku menjadi Maluku dan Maluku Utara semakin memperuncing permasalahan politik daerah yang sudah ada. Karena permasalahan politik tersebut menyangkut agama, perseteruan terjadi antara umat Kristen dan Islam pada Januari 1999. (**).